Jumat, 15 November 2013

Kehadiran TNI, Ancaman Bagi Orang Papua?

Dari Sebuah Penelusuran JPIC di Asiki
JUBI — Bagi banyak orang, keamanan merupakan hal yang utama dalam menjalankan aktivitasnya. Namun bagi mereka yang lain ternyata, tidak. Bagaimana dengan orang Papua sendiri?

Pagi itu, 29 April 2009, telephone selulernya berdering. Tepat pukul 07.30 waktu Jakarta. Pria paruh baya itu kemudian menjawabnya. “Ok baik, ya. Saya akan mengambilnya,” katanya kepada seseorang diujung telephone. Lima menit kemudian, dia pun bergegas. Diambilnya ransel lusuh dan kemudian pergi. Lelaki itu, Wempi Fatubun, seorang aktivis HAM. Dulunya pernah terlibat di Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP-KAM). Kini sebagai Promotor Justice, Peace and Integration Creation (JPIC) MSC Indonesia. 
Dia mendapat informasi dari seorang anggota Satpam Camp 19 (Lahan A Perkebunan Kelapa Sawit) PT. Korindo Grup di Asiki, Boven Digoel, Papua yang mengabarkan sejak bulan Februari 2009, pihak manajemen perusahan PT. Korindo Grup telah mengangkat seorang anggota TNI bernama Serka Paswit sebagai wakil kepala satpam untuk kepentingan pengamanan Lahan A Perkebunan Kelapa Sawit di Camp 19. Wempi tahu ada sesuatu yang janggal disini. Baginya ini adalah sebuah berita. Dia pun menelusurinya.
Serka Paswit sendiri mendampingi kepala Satpam, Mr. Song, seorang warga negara Korea. Selain sebagai wakil kepala satpam, Serka Paswit juga bertugas sebagai Komandan Pos TNI di Camp 19. Kehadiran Serka Paswit menimbulkan pertanyaan warga setempat. “Mereka  bertanya, mengapa PT. Korindo Grup mengangkat Mr Song sebagai kepala Satpam dan Serka Paswit sebagai wakil kepala satpam di Pabrik Camp 19, ini yang menarik,” kata Wempi. Menurut JPIC MSC/SKP-KAM di Asikie, sebut Wempi, pertanyaan warga itu sebenarnya muncul dari perasaan khawatir, karena sebelumnya ada sejumlah anggota TNI Kostrad diwilayah itu yang melakukan intimidasi, penyiksaan dan pembunuhan terhadap warga. Misalnya saat kematian staf personalia PT. Korindo Grup, almarhum Liborius Oka beberapa tahun lalu.
Dari hasil investigasi JPIC MSC/SKP-KAM pada November 2008, dipaparkan, kurang lebih ada 12 Pos TNI dari satuan Kostrad dan Kopassus di areal Konsesi PT. Korindo Grup. Ada juga 5 Pos Kopassus, di mess staf PT. Korindo Grup di Asikie, di mess karyawan Camp Tunas, Camp Erma, Camp Kali Muyu dan Camp 19. Beberapa anggota Kopassus bahkan tinggal dan membaur dengan warga di Camp 3. Sementara, di wilayah yang sama, ternyata ada juga 6 Pos Kostrad. Yakni pos induk di Asikie (samping SD Asikie), satu pos di ujung kelapa sawit (kepala Sungai Bian), satu pos di Km 35, jalan ke Camp Tunas, juga ada di Camp Kali Muyu, di Camp Tunas dan di Camp Erma. Koramil juga berdiri di Camp 19. “Hal ini memperlihatkan bahwa sekarang PT. Korindo dijaga TNI dari kesatuan Kopassus, Kostrad, dan Koramil. Ini berlebihan, karena terlalu banyak anggota TNI yang bertugas di areal konsensi PT. Korindo Grups,” sebutnya dalam sebuah artikel pada awal 2009.
Alasan Penempatan
Dalam suatu kesempatan di Kota Jayapura, pengamat sosial Dr. George Junus Aditjondro menegaskan, ada beberapa alasan penempatan pasukan TNI di Papua. Pertama, alasan remiliterisasi, yakni menghidupkan kembali peran militer. Ini sebagai reaksi terhadap pemisahan Polri dari ABRI, yang memberikan ‘leverage’ kepada Polri untuk urusan Kamtibmas dan mengurangi kekuasaan TNI di wilayah perbatasan. Kedua, kehadiran pasukan TNI dijustifikasi (dibenarkan) oleh ‘kemungkinan’ adanya serangan musuh dari luar. Ketiga, mencegah pelarian lintas batas. Keempat, semakin menguatnya identifikasi masyarakat setempat (Papua) dengan negeri jiran (PNG), atau aneksasi ‘kantong-kantong’ di perbatasan oleh negara jiran. Juga ada pengamanan terhadap “proyek-proyek vital”, yakni kegiatan perusahaan besar di bidang kehutanan, perkebunan, perikanan, pembangunan prasarana, dan konversi hutan primer menjadi perkebunan, khususnya kelapa sawit yang sangat didukung oleh militer. Kelima, pengamanan proyek-proyek transmigrasi dari serangan kelompok bersenjata. Selanjutnya “memungkinkan” terjadinya intimidasi terhadap rakyat yang bermaksud menuntut hak-hak atas tanah, tanam-tumbuh, dan perairan berdasarkan hak ulayat mereka. 
Bagi Aditjondro, alasan lainnya adalah sebagai bentuk pembagian kue rezeki di antara berbagai Angkatan. Hal ini juga untuk menghindari konflik antara TNI dan Polri. “Ada juga upaya untuk “membeli” loyalitas Angkatan Bersenjata terhadap rezim yang berkuasa selama supremasi sipil belum berlaku, sehingga hubungan baik dengan militer dan polisi masih perlu dibina,” ujarnya.
Pernyataan Aditjondro ternyata membawa Wempi pada sebuah pertanyaan. Bagaimana caranya melanggengkan konflik sosial, sehingga menjustifikasi penempatan pasukan (TNI) di areal konsesi PT. Korindo Grup?. Apakah ini dilakukan dengan menginfiltrasi kelompok-kelompok militan, sehingga tercipta ‘OPM siluman atau “Gerakan Pengacau Keamanan”?. “Kelompok-kelompok yang bertikai disusupi dan diprovokasi, sehingga konflik laten berkembang menjadi konflik fisik. Dengan demikian ada alasan untuk mengirim pasukan sebagai ‘juru damai’,” ungkapnya. Baginya, konflik sosial yang berkepanjangan akan terus “dipelihara”. “Keuntungannya sudah pasti akan datang untuk pihak-pihak tertentu. Akan ada juga bargaining power diantara mereka demi investasi dalam skala besar,” sebutnya. 
Menurut Wempi, konflik sosial (baca: kerusuhan) di Indonesia merupakan hasil sinergi antara modal, militer, dan milisi (3 M). PT Freeport Indonesia (PT FI), di masa Orde Baru, juga pernah menjadi sasaran permainan ketiga aktor ini ketika Prabowo Subianto (saat itu Danjen Kopassus) merekayasa konflik di antara suku-suku di wilayah konsesi tambang untuk “memaksa” PT FI memberi saham sebesar 4,7% kepada Bob Hasan atas nama Keluarga Cendana (Aditjondro 2006b: 254). 

“Kenyataan seperti itu menyebabkan warga, khususnya para karyawan merasa tidak aman dengan kehadiran banyak anggota TNI di Areal Konsesi PT. Korindo Grup,” pungkasnya. Wempi menyebutkan, Anggota TNI juga tidak segan-segan melakukan tindak kekerasan terhadap warga sipil bila mereka melakukan kesalahan seperti mencuri BBM (bahan bakar minyak) milik perusahan. “Seorang karyawan di Camp 19 PT. Korindo Grup, pernah mengatakan, anggota Kopassus atau Kostrad biasanya mengajak anak-anak muda yang bekerja sebagai buruh di perkebunan kelapa sawit untuk konsumsi minuman keras hingga mabuk.” “Bahkan beberapa oknum Kopasus dan Kostrad memfasilitasi karyawan untuk bermain judi (seperti dadu),” tambah Wempi. 
Dalam artikelnya pasca penelusuran itu, Wempi menulis, Polisi juga tidak bisa bertindak tegas terhadap perdagangan miras dan perjudian itu. Polisi terlihat kehilangan fungsi Kamtibmas yang mereka emban. Anggota TNI seakan telah mengambilalih fungsi polisi tetapi sekaligus melakukan perdagangan miras dan perjudian. Pada tahun 2008, akibat mengkonsumsi miras oplosan merek Alexander, enam warga meninggal di Camp 19. “Minuman keras Aleksander adalah minuman yang dibuat oleh anggota TNI Konstrad Pam Perbatasan dengan bahan bakunya adalah sagero (tuak) dari kelapa dan formalin,” sebut Wempi. Tuak (sagero) biasanya didapat dari pemuda kampung. Sedangkan formalin diperoleh dari petugas Puskesmas, di Asikie, Muting, dan Kampung Bupul. “Saya lihat kehadiran begitu banyak pasukan di areal konsesi PT. Korindo Grup justru menciptakan rasa tidak aman karena menimbulkan penderitaan bagi rakyat setempat”.
Kekhawatiran Wempi sepertinya sejalan dengan laporan utama sebuah Tabloid Mingguan, Tribun Maleo di Merauke. Dalam tahun 2007, Tribun Maleo pernah mengangkat sebuah tajuk tentang ancaman kehadiran militer di Papua. Tentunya bukan untuk menjustifikasi bahwa kehadiran militer buruk. Tapi lebih kepada bagaimana mendidik dan menggembleng anggota TNI agar tidak lagi bertindak keras kepada warga. Bagi Tribun Maleo, sepatutnya anggota TNI kembali pada jiwa pengabdian, bukan hanya untuk Negara tapi juga untuk masyarakat. Menjadi pangayom dan pelopor dalam bekerja. “Kita hanya berharap dengan setiap laporan bernuansa militer dan ancamannya, TNI dapat kembali ke jati dirinya sebagai pelindung masyarakat. Bukan sebaliknya menjadi ancaman,” pungkas Fidelis Jeminta, Pemimpin Redaksi Tribun Maleo, kala itu. (Jerry Omona)
 

Selasa, 05 November 2013

Wawancara Dengan Dominic Brown, Pembuat Film “Forgotten Bird of Paradise”

Inggris — Sejak 1 Mei 1963, Pemerintah Indoensia telah menutup akses untuk aktivis,  wartawan asing, dan diplomat internasional untuk mengunjungi tanah P apua.

Negara mewajibkan siapa saja untuk memiliki sebuah “surat jalan” dari Kementerian Luar Negeri Indonesia di Jakarta.
Dominic Brown, salah satu video maker berhasil mengunjungi Papua dengan cara menyamar. Ia melakukan wawancara dengan berbagai pihak di tanah Papua, termasuk tokoh terkemuka Organisasi Papua Merdeka (OPM), Goliat Tabuni. Hasilnya, Video berjudul “Forgotten Bird of Paradise” atau “Cenderawasih Yang Terlupakan” dilaunching pertengahaan tahun 2012 lalu di Inggris. 

Wensi Fatubun, Video Maker dan pendiri Papuan Voices,  beberapa waktu lalu mendapat kesempatan untuk wawancara langsung Dominic Brown. Ikuti petikan wawancara secara lengkap dibawah ini:

Kegiatan Terkini Anda?

Saya sementara sedang membuat film documenter yang lumayan panjang tentang seorang pemimpin kemerdekaan Papua Barat, Benny Wenda. Saya baru saja kembali dari perjalanan selama lima minggu bersama-sama dengan beliau.  Ini adalah perjalanan resminya yang pertama kali di luar Inggris sejak perintah penangkapan atas dirinya yang dikeluarkanoleh Interpol dicabut.

Kami mengunjungi Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Papua New Guinea dan Vanuatu.  Film documenter ini mengkisahkan tentang kehidupan Benny Wenda sebagai seorang aktivis, yang memfokuskan diri pada menjelaskan tentang keadaan di tanah airnya, dan upaya-upaya yang dilakukannya agar referendum kemerdekaan yang bebas dan adil dapat dilaksanakan.

Ceritakan tentang siapa Anda sebagai seorang pembuat film?

Saya mulai membuat film sesudah saya mengalami hal yang tidak bias saya lupakan di Papua Barat. Saya mengunjungi tempat itu ketika saya berusia 21 tahun, dan saya benar-benar terkejut ketika melihat situasi di sana.
Dengan mata kepala saya sendiri saya melihat bagaimana orang-orang asli Papua diperlakukan sebagai warga Negara kelas dua, dan setiap hari menderita pelanggaran HAM.

Waktu saya kembali ke Inggris dan mencerita kanapa yang terjadi di Papua Barat kepada teman-temansaya, ternyata belum ada seorang pun yang pernah mendengar tentang keadaan di Papua.  Jadi, saya bertekad, bahwa pada suatu hari saya akan kembali ke Papua untuk membuat sebuah film dan membantu semampu saya agar hal-hal yang terjadi disana bisa di ceritakan keluar.

Saya belum pernah mengikuti pelatihan pembuatan atau pengeditan film sebelumnya. Namun, saya pikir hal itu banyak manfaatnya bagi saya, karena saya bias membuat film semata-mata dari perspektif saya, ketimbang apabila saya mengikuti pelatihan, dan saya malah diberitahu tentang hal-hal apa yang harus dan tidak boleh saya lakukan.

Mengapa Anda menggunakan gambar bergerak?

Menurut saya, video adalah media yang sangat handal. Dengan video Anda bias menangkap momen-momen yang dengan mudah dilupakan apabila tidak ada video. Dengan gambar bergerak kita bias berbagi cerita dan memberikan ‘jendela-jendela’ kepada orang lain dan kisah-kisah dari peristiwan-peristiwa yang mereka alami, yang apabila tidak ada, tidak akan pernah diketahui oleh orang lain.

Hal-hal apa yang Anda sampaikan dalam karya-karya video Anda?

Semua yang sudah saya kerjakan didasarkan atas pengalaman-pengalaman saya sendiri, dan terutama pada peristiwa-peristiwa yang paling mutakhir di seputar keadilan social dan hak-hak azasi manusia.

Tahun lalu saya di Sahara Barat dan membuat sebuah film tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh orang-orang Sahrawi.

Menurut saya, melalui film, kita dapat membuka mata orang lain atas hal-hal yang mereka belum ketahui, dan sekaligus memberikan inspirasi kepada mereka agar mereka bertindak.  Dengan begitu, Anda sudah melakukan sesuatu yang sangat berpengaruh.

Saya juga baru saja menyelesaikan sebuah film tentang seorang laki-laki yang percaya bahwa ia adalah titisan Raja Arthur, seorang figure mitos Inggris.  Ia adalah seorang Inggris yang eksentrik, sebelumnya bekerja sebagai prajurit Angkatan Darat.  Ia juga adalah seorang veteran aksi-aksi prote sdi jalan raya, dan seorang aktivis lingkungan
hidup.

Anda sudah membuat sejumlah video. Mohon ceritakan kepada kami tentang film”Forfotten Bird of Paradise” dan latar belakangnya?

“Forgotten Bird of Paradise” (Cenderawasih yang Terlupakan) adalah film pertama yang saya buat. Saya menghabiskan dua bulan untuk bepergian dengan menyamar di Papua Barat.

Saya berhasil bertemu dengan korban-korban pelanggaran HAM, aktivis kemerdekaan Papua, dan sejumlah anggota perjuangan bersenjata. Film itu diterima dengan baik, memperoleh penghargaan sebagai Film Dokumenter Terbaik di Festival Film Dam Short, dan dipertunjukkan di festival-festival film yang lain, termasuk Raindance. Film itu juga diputar di program berita terkini “BBC Newsnight” di Inggris.

Bagaimana Anda melihat pengaruh distribusi online (melalui internet) terhadap pembuatan video independen?  Bagaimana Anda menggunakan alat-alat bantu online dalam pekerjaan Anda?

Dewasa ini, segala sesuatu di-online/internet-kan.Youtube, Vimeo, Twitter dan Facebook adalah ‘panggung’; yang saya gunakan, dan sudah barang tentu situs (website) saya.

Teknologi digital telah membuka kesempatan yang benar-benar luas. Apabila Anda bias mempromosikan sebuah film dengan baik, film itu dengan cepat bias ditonton oleh ribuan orang.

Ada banyak video seperti itu. Menurut pendapat saya, kuncinya adalah membuat video yang isinya menyentuh emosi orang lain, dan membuat mereka untuk bertindak.
============================================================================================
Terjemahan wawancara ini dilakukan seakurat mungkin oleh Martyr Papua. Sudah mendapat izin, bahkan telah diperiksa langsung oleh si pewawancara. 

Senin, 04 November 2013

Perjuangan Bersama!

Pada tahun 2010, ketika belajar di Bangkok, saya mendengar cerita soal gerakan terorisme di Thailand Selatan. Beberapa kawan saya menyebutkan gerakan terorisme itu dengan sebuatan "Gerakan Patani". Saking penasaran dengan cerita dari kawan-kawan di kota Bangkok, saya memutuskan untuk pergi ke Propinsi Pattani di Thailand Selatan. Saya tinggal di sana selama seminggu. Saya tidak punya teman orang lokal disana. Saya tinggal di penginapan murah, dan berdiskusi dengan tukang petugas hotel, juga dengan ibu-ibu yang berjualan dekat penginapan. Saya bisa komunikasi, karena mereka bisa bahasa Melayu. Saya paham mereka ketika bicara. Mereka bicara soal sejatah Bangsa Patani dan persoalan yang dihadapi oleh mereka. Dari pengalaman ini, saya pun mengerti bahwa isu terorisme adalah isu yang diproduksi oleh fihak kerajaan Thailand untuk mengkriminalkan perjuangan hak-hak Bangsa Melayu Patani di 4 propinsi di wilayah Thailand Selatan.  Politik Siamifikasi pemerintah Kerajaan Thailand, yang memaksa Bangsa Patani memakai bahasa dan tulisan Thai, dan berusaha menutup sekolah-sekolah pengajian yang berbasis agama Islam dengan tulisan “Melayu” (tulisan Arab tanpa tanda-tanda baca, alias Arab gundul), serta larangan penggunaan jilbab di sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah di wilayah Selatan; = penempatan pejabat-pejabat Thai-Buddhis yang tidak berusaha memahami budaya orang Melayu-Muslim, mengepalai birokrasi provinsi-provinsi di Selatan; = pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat bersenjata (tentara dan polisi) Thai. Ini semua dilakukan oleh pihak kerajaan Thailand demi menjaga persatuan dan kesatuan Kerajaan Thailand.

Saya juga merefleksikan Papua. 

Pada tahun 2010, sebelum ke Bangkok. Saya dan kawan-kawan membuat penelitihan soal "Kopasus menyiksa anak-anak Papua di Rumah 41A, Kelapa Lima, Merauke, karena mabok" (link ceritanya: http://iampapua.blogspot.com/2010/09/rumah-41a.html).  Setelah hasilnya ada dan dilaporkan kepada pihak petinggi TNI dengan sebuah kesimpulan bahwa ada indikasi pelanggaran HAM, saya pun dicari-cari, dikerja dan bahkan diteror via SMS. Saya dianggap melawan Negara. Kawan saya, seorang wartawan, yang mengantar saya untuk dokumentasi kasus ini mati tenggelam di Sungai Maro. Ia diduga mati tenggelam, tapi hasil visum versi Jakarta mengindikasikan bahwa ia mati terbunuh. Sebelum ia meninggal, kawan-kawan wartawan mendapat sms dari nomor tak dikenal. SMS itu berisi "Jangan main api dengan kami. Karena kamu akan dibakar dengan api itu". Kurang lebih itu bunyi smsnya. peristiwa kematian kawan saya ini terjadi setelah 3 hari saya tinggal di Bangkok.

Pengalaman ini membuat saya bertanya, mengapa kami dianggap melawan negara ketika kami memperjuangkan martabat manusia? Bukankah manusia diwajibkan untuk tidak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah? Aparat Kopassus ada untuk siapa? 

Pertanyaan ini belum selesai saya temukan jawabannya, saya dihadapkan pada pertanyaan, mengapa TNI begitu muda meletupkan senjatah untuk membunuh orang Papua yang baru mendapat tujuan separatis? Mengapa ketua adat ini tidak mampu menegur tentara yang memetik buah rambutan di halaman rumahnya tanpa permisi? Mengapa 2 angota TNI dari Pos Kali Maro itu mengembalikan sepeda motor warga Kampung Bupul yang telah dirusak tanpa merasa bersalah? Mengapa TNI yang perkosa adik-adik Perempuan di perbatasan tidak disidangkan?

Pertanyaan-pertanyaan itu sulit dijawab dengan baik, karena ada argumentasi dominan bahwa mereka, TNI, yang bertugas di Papua itu sedang menjalankan tugas negara untuk menjaga persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2 minggu lalu, ketika ada diskusi soal Eksistensi Mahasiswa Papua dalam Nasionalisme di Kampus UKI Tomohon. Beberapa mahasiswa Papua diajak untuk hadir dalam diskusi ini. Penyelenggaranya dari fihak LNMD dan Forum Peduli Nusantara. Diskusi sempat tertunda selama 2 jam, karena fihak penyelenggara menunggu peserta diskusi yang telah diundang. Fihak penyelenggara menginginkan untuk banyak mahasiswa Papua hadir dalam diskusi ini. Tapi, hanya ada 5 mahasiswa Papua yang hadiri. Itu pun, karena dipaksa-paksa oleh fihak penyelenggara. Kegiatan semacam ini sudah perna dilakukan di Universitas Sam Ratulangi dan UNIMA. Lain hal dengan diskusi di UKIT, di UNIMA dan USTRAT, ada lebih banyak mahasiswa Papua yang hadir. Tapi, ada hal yang sama dari diskusi di 3 tempat ini, yakni ungkapan dalam nada yang sama dari mahasiswa Papua: "torang ta colo no", artinya mereka terjebak. Saya diskusi dengan mereka, dan terungkap bahwa mereka sampai merasakan terjebak, karena diskusi ini bukan bagian dari mereka dan agendanya dirasa semacam agenda untuk menggiring pada sebuah klaim dari fihak penyelenggara bahwa mahasiswa Papua juga memiliki rasa yang mendalam soal nasionalisme Indonesia. Mayoritas aorang Papua lebih merasa sebagai Papua daripada sebagai Indonesia. Saya pun merasakan semacam ini, meskipun saya non Papua yang lahir Papua. Mengapa demikian?

Memang begitu. Situasi kekerasan yang dilakukan terhadap rakyat Papua oleh TNI dan kebijakan pembangunan yang tidak pro rakyat yang membuat kami seperti itu. Hal ini menjadi semakin merasuki hati kami, dan membentu semacam nasionalisme Papua, karena kami mulai sadar soal sejarah manipulasi TNI ketika Pepera 1969, juga pertanyaan kami soal PT. Freeport yang telah bikin tanda tangan kontrak dengan pemerintah Indonesia di tahun 1967 ketika Papua belum resmi bagian dari NKRI. Singkapnya, kami lahir dari rahim ibu tidak perna berpikir untuk memiliki nasionalisme Papua, tapi situasi dan sejarah hidup ini yang membuat kami harus seperti ini. Saya sendiri terkadang mempertanyakan soal mengapa Tuhan menghendaki saya lahir di tanah Papua, mengapa saya tidak lahir di Manado saja. Seandainya, saya lahir di Manado, saya yakin, saya tidak akan berpikir seperti sekarang. Saya pasti tidak bekerja seperti sekarang. 

Saya tak mau mempersalahkan, apalagi mempersoalankan, sejarah hidup saya. Ini rahmat. Tuhan punya rencana atas hidup saya. Mari melawan sejarah hidup yang menindas dengan mengubahnya dalam semangat tanpa kekerasan. Sejarah penindasan di tanah Papua harus ditinggalkan. Nasionalisme yang berwajah hegemoni itu harus dihapus. Tak boleh ada yang menjajah dan dijajah.

Ini perjuangan bersama! Panggilan bersama!